Alkisah, di Kerajaan Mesir yang megah. Hiduplah seorang pemuda tangguh lagi kuat fisiknya dan cerdas akalnya, ia bernama Musa.
Musa memiliki ayah angkat seorang raja penguasa mesir yang bengis dan kejam. Kekejamannya yang memerintahkan untuk membunuh setiap bayi laki-laki dari golongan Bani Israil, luluh lantak di hadapan permintaan sang istri untuk mengadopsi seorang bayi mungil yang hanyut di aliran sungai Nil yang indah.
Berlalunya waktu, sang bayi tumbuh menjadi pemuda elok rupa lagi kuat fisiknya.
Hingga suatu saat di suatu tempat, di temuinya dua orang yang sedang bertikai. Salah satunya dari pihak kerajaan mesir sedang yang lain adalah dari kaumnya Bani Israil.
Ia mencoba melerai keduanya, namun sebagaimana termaktub, lelaki dari pihak kerajaan ini enggan berdamai, di tambah rengekan permohonan bantuan dari lelaki Bani Israil.
BUUK!!! Bogem mentah mendarat pada lelaki dari kerajaan tersebut. Tersungkur dan meregang nyawa kala itu juga.
Musa sadar bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kezaliman. Tujuannya bukanlah karena ingin membunuhnya, justru hanya ingin menolong lelaki dari kaumnya itu. Segera ia memohon ampun pada Rabb Penguasa langit dan bumi atas kekhilafannya.
Seraya berkata _“Ya Tuhanku! Demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, maka aku tidak akan jadi penolong bagi orang-orang yang bedosa.”_
Malang tak dapat di tolak, mujur tak dapat di raih. Lelaki yang di tolongnya kemarin, ternyata telah menyebarkan berita kejadian yang membuat Musa ketakutan untuk terus berada di negeri sungai Nil itu.
Dalam rasa was-was bin khawatir, terdengar langkah kaki seseorang yang berlari ke arahnya.
Dengan nafas yang tersengal-sengal, berkata ia _“Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka keluarlah (dari kota ini), sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu”._
Pulau sudah lenyap, daratan sudah tenggelam. Tak ada harapan lagi bagi Musa kecuali keluar dari kota permadani Nil.
Perjalanan panjang di tempuhnya ...
Linglung tak karuan, lelah di kandung badan.
Biarlah angin menunjuk arah, jika kanan bertiup maka kekananlah ia berhalau. Satu hal yang ia yakini, bahwa Rabb Pencipta, tidak akan pernah sekalipun meninggalkannya.
_“Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang zalim itu,”_ tutur Musa.
Nun di ujung sana, terdapat sebuah kota tua, Madyan namanya. Di timur negeri Mesir letaknya.
Musa masuk sembari berdoa pada Rabb Yang Maha Penyayang _“Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.”_
Duduk bersilang melepas lelah, setelah perjalanan panjang di bawah pohon yang rindang. Diamati sekitarnya, dan tanpa di sengaja ia tergidik pada pemandangan unik yang membesit pikiran.
Ia melihat sekumpulan manusia yang sedang memberi minum ternak-ternak mereka.
_Ah,,, biasa saja,,, tidak ada yang menarik,,, Tapi…? Kenapa dengan dua gadis itu?"_
Ya, dua orang anak gadis yang sedang menunggu giliran untuk memberikan minum ternak-ternak mereka.
Namun, keshalihah dari keduanya menghalangi mereka untuk mendekat atau lebih lagi bercampur baur dengan kaum laki-laki di dekat sumur. Maka sibuklah keduanya menghalau ternak agar tidak berlari ke arah sumur.
*Ya sekali lagi, karena keshalihah mereka. Dan apakah masih ada semisal keduanya di zaman sekarang?*
Dan kalau sudah selesai kaum laki-laki dari keperluannya, di tutup sumur dengan batu seperti sediakala, dan pergi,… ya pergi tanpa meninggalkan secuil harapan untuk kedua gadis.
Jahit sudah, kelindan putus, telah usai tugas maka pergi tanpa menoleh.
Majulah keduanya ke arah sumur dan hanya mampu memberikan minum ternak-ternak dari sisa air yang terjatuh di tanah.
Musa melihat kejadian ini. Ada belas kasih ingin membantu di tambah rasa penasaran.
Ia mendekat, dan bertanya _“Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?”_
Mereka menjawab _“Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.”_
Maka dibantulah keduanya.
Musa kembali berteduh di bawah pohon, dan kedua gadis pun bertolak pulang.
Tak ada tukar alamat, bahkan sekedar bertanya namapun tak ada.
Tak ada gombalan bahkan rayuan rindu (kamu tak sanggup, biar aku saja)pun tak ada.
Cukup karena Allah Ta’ala ia membantu, maka Allah Ta’ala pertemukan dengan Cara-Nya sendiri.
Hanya satu doa saja yang Musa panjatkan dalam kesendirian untuk menghapus kegundahan.
_“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.”_
Gayung bersambut, kata berjawab, Maqbul, ya... di istijabahkan doa Musa oleh Allah Yang Maha Pemurah.
Suara langkah kaki yang pelan, takut mengganggu, dengan malu-malunya, ia seorang gadis salah satu dari keduanya, datang menghampiri.
Sambil membelakangi Musa, begitupun Musa membelakanginya karena sadar bahwa mereka hanya berdua, takut tertimpa keburukan dari godaan syaitan yang hadir pada mereka yang sedang berduaan.
Sang gadis berkata _“Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.”_
Singkatnya... Musa datang menjumpai ayah dari keduanya, ia adalah seorang syaikh beriman kepada Allah Azza wa Jalla (sebagaimana pendapat sebagian mufassir).
Musa bercerita kisah panjang perjalannya. Di kejar oleh pasukan ayah angkatnya, hingga ia masuk ke kota Madyan.
Sang Syaikh berkata _“Janganlah engkau takut engkau telah selamat dari orang-orang zalim itu.”_
Setelah lama bercerita dan saling berkenal antara Musa dan sang syaikh itu. Tetiba salah satu dari gadis (dikatakan kakaknya yang paling tua) bercelutuk memberi ide masukan untuk sang ayah.
_“Wahai ayahku! Jadikanlah ia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat di percaya.”_
Kuat... dan dapat di percaya.
Dari mana ia tahu, bahwa Musa kuat dan dapat di percaya?
Usut punya usut, ternyata sifat KUAT pada Musa, terlihat ketika ia memindahkan batu yang tadinya menutup sumur.
Batu yang besar itu dan hanya mampu di pindahkan oleh 9 (sembilan) laki-laki yang berbadan besar dan kuat, hanya mampu di pindahkan Musa seorang diri saja.
Dapat di percaya? Dari mana ia tahu bahwa Musa dapat di percaya?
Tidak ada modus setelah membatu, dan di sebutkan pula, tatkala Musa hendak di tuntun oleh salah satu gadis utusan ayahnya. Musa berjalan di depan dan membiarkan si gadis yang berjalan di belangkang.
Belum lagi mereka dalam perjalanan tidak berbicara satu sama lain. Musa meminta jika ada dua jalan, maka cukup melemparkan batu kerikil sebagai tanda jalan yang benar.
Ya tanpa kata, tanpa suara, apalagi pandangan. Karena godaan itu berawal dari pandangan, kemudian senyuman, kemudian sapaan, kemudian perbincangan, kemudian janjian, dan kemudian pertemuan, dan, wallahu a’lam apa yang terjadi setelah pertemuan.
Setelah yakin akan khabar anaknya, berkatalah syaikh itu
_“sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuan ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. In syaa Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”_
Jawab Musa _“Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan (tambahan) atas diriku (lagi). Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan.”_
Itulah Musa, ia merantau ke negeri Madya, tanpa tau siapa sanak famili di sana, tanpa tau apa yang akan terjadi padanya di negeri itu.
Cukup pada Allah ia gantungkan harapan dalam doa, dan lihat apa yang Allah rencanakan padanya.
Dari sendiri, di beri ia keluarga baru, dari belum mendapati sang belahan hati, di beri ia seorang gadis shalihah dari keluarga yang shalih, dari tidak punya tempat tinggal, di beri ia rumah kediaman, dan dari tidak punya pekerjaan, di beri-Nya pula ia pekerjaan.
Bahkan hingga suatu ketika, diangkatlah ia untuk menjadi Nabi dan Rasul-Nya....
*(Lantas bagaimana dengan kita???)*
Dari kisah Nabi Musa alaihissalam, dalam Surat al-Qashas: 15 – 28.
Penanggung jawab tulisan
Akhukum Fillah Al-Fajar
Santri Ma’had Ulil Albab UIKA Bogor.